Budaya Menyontek dalam Pendidikan
Rian Rifqi Ariyanto
Kurikulum dan
Teknoliogi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, UniversitasNegeri Semarang
Abstrak
Menyontek dalam dunia pendidikan sudah tidak asing lagi,
bahkan sudah tidak dianggap suatu pelanggaran tetapi dianggap sebagai
kebiasaan. Akibatnya banyak kelulusan dengan nilai tinggi tetapi tidak
mempunayai kualitas yang sesuai dengan kelulusannya dan banyak lulusan
perguruan tinggi yang tidak bisa meringankan beban rakyat, melainkan menambah
beban rakyat. Buktinya, banyak lulusan peguruan tinggi yang menggangur.
Menyontek merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas pendidikan. Masalah
ini harus dicegah sedini mungkin agar tidak menular pada generasi selanjutnya.
Tulisan ini berusaha menyelesaikan masalah menyontek dengan metode pustaka,
yaitu sumber-sumber yang digunakan berupa kutipan dan rujukan dari jurnal,
buku, media massa, dan internet. Hasilnya yaitu harus adanya kerja sama antara
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga lembaga ini merupakan suatu sistem
dalam mempengaruhi pembentukan kepribadian anak. Oleh karena itu, ketiga sistem
ini harus bisa saling membantu satu dengan yang lain. Jadi, sekolah, keluarga,
dan masyarakat yang bisa mengatasi masalah menyontek.
Kata kunci : kebiasaan, menyontek, mencegah, kerja sama
1. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang
dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang terpendam agar bisa hidup dengan baik dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan berhasil dalam menuntut ilmu jika sudah mengusai materi dan
bisa mengaplikasikannya, lebih hebat lagi jika mendapatkan prestasi. Tetapi,
para siswa salah dalam menafsirkan, mereka menganggap kalau sudah mendapat
prestasi berarti sudah dianggap berhasil. Akhirnya mereka berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan prestasi tersebut. Dalam mencapainya, mereka ada yang
menggunakan cara sehat, seperti bersungguh-sungguh belajar dan ada juga yang
menggunakan cara yang tidak sehat, seperti menyontek kerjaan teman. Disini saya
ingin memfokuskan pembahasan tentang mendapatkan prestasi dengan cara yang
tidak sehat, yaitu :(1) tentang sebab-sebab dari siswa melakukan tindakan
menyontek; (2) dampak dari tindakan menyontek; (3) peran sekolah, keluarga, dan
masyarakat dalam mengatasi masalah menyontek.
Masalah menyontek dalam
dunia pendidikan sudah tidak asing lagi di telinga kita, khususnya para
pelajar. Menyontek merupakan masalah kecil tetapi jika terus-menerus dibiarkan
tanpa adanya usaha untuk mencegahnya, maka akan menjadi suatu budaya dalam
dunia pendidikan. Sekarang, menyontek sudah tidak dianggap masalah atau pelanggaran
bagi siswa tetapi mereka menganggap menyontek itu suatu kebiasaan dalam dunia
pendidikan dan guru pengawas yang tahu juga membiarkan atau ditegur dengan
mengambil kertas yang dibuat menyontek, kemudian disuruh mengerjakan lagi.
Tetapi setelah waktu mengerjakan tinggal 10 menit, siswa yang menyontek tadi
belum selesai, akhirnya meminta jawaban kepada temannya yang sama kode soalnya
dan pengawasnya juga membiarkan (lihat kompasiana,08/05/12). Selain itu,
menyontek juga ada
yang disuruh oleh guru dengan perjanjian tidak boleh memberitahu kepada siapa pun (lihat VIVAnews.com, 02/06/11). Ada
juga yang mengungkapkan kasus menyontek justru dimusuhi (lihat detiknews, 16/06/11), dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Hal-hal yang Menyebabkan Siswa
Menyontek
Menyontek biasanya dilakukan oleh siswa
yang ingin berprestasi tetapi menggunakan jalan pintas atau melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, baik secara lisan maupun tulisan.
Tindakan-tindakan yang termasuk menyotek adalah melihat buku pelajaran,
melihat catatan kecil
yang telah dipersiapkan sebelumnya
yang berisi rumus-rumus, tanda-tanda, ringkasan, dan hal-hal yang berhubungan dengan materi,
melihat pekerjaan orang lain, atau menyamakan pekerjaannya sendiri dengan pekerjaan temannya.
Menyontek bias dilakukan
di catatan kecil, tangannya sendiri,
di bolpoin, baju, dan disuatu tempat
yang orang lain tidak mengetahuinya khususnya guru pengawas (Jusuf, 1986).
Ulangan tertulis merupakan ulangan yang rawan sekali untuk melakukan penyontekan.
Apalagi kalau materi
yang diujikan begitu banyak,
sehingga menyebabkan siswa menjadi malas belajar. Akhirnya siswa menulis catatan kecil untuk menyontek atau menggantungkan temannya
yang pintar. Siswa yang biasanya menyontek, dia tidak segan-segan untuk berbagi dengan temannya yang lain karena dia merasakan apa yang dirasakan temannya. Dan jarang sekali kalau mengkhianati temannya.
Di sini tampak, bahwa ketidakjujuran tehadap guru dianggap tidak penting disbanding ketidakjujuran terhadap temannya sendiri, dia lebih memilih kesetiakawanan.
Sebab-sebab siswa menyontek
menrurut Jusuf (1986: ) : (1).
Belum menguasai materi,
siswa yang tidak menguasai materi dikarenakan tidak mendengarkan penjelasan guru, seperti ngobrol dengan temannya, tidur, melamun atau bermain sendiri, ada juga yang sudah
mendengarkan dengan serius tetapi masih juga tidak faham mungkin karena ada
gangguan dalam pikirannya, seperti telat berfikir; (2).
Malas belajar karena ketidakfahamannya dengan materi.
Malas adalah sifat yang selamanya ada dalam diri manusia. Tetapi tergantung
pada orangnya, jika bisa melawan rasa malas itu, maka dia akan sukses atau bisa
mencapai apa yang dia inginkan, tetapi kalau tidak bisa melawan, maka sifat
malas itu akan menjadi sahabatnya dan akan menjerumuskan kepada kegagalan.
Selain sifat asli manusia, malas juga bisa disebabkan karena tidak atau kurang
memahaminya materi. Kalau siswa kreatif, pasti dia akan tanya kepada temannya
yang bisa, namun semua siswa tidak seperti itu, tapi ada juga yang cuek dengan hal tersebut, yaitu
siswa-siswa yang tidak menghargai proses, siswa yang tidak pintar, dan siswa
yang suka bergantung pada temannya; (3).
Tuntutan guru yang terlalu tinggi,
yaitu soal yang diberikan terlalu sulit atau soalnya tentang materi
yang siswa belum faham;
(4).
Pengawasan yang kurang ketat. Kecurangan terjadi karena adanya niat dan
kesempatan. Dua hal ini merupakan komponen dalam hal melakukan kecurangan yang saling berkaitan dan tidak bias dipisahkan satu sama lain.
3. Dampak dari Menyontek
Adapun dampak dari menyontek yaitu : (1). Kebodohan.
Orang menyontek itu mencontoh pekerjaan orang lain, hasil yang didapatkan tidak
dari pemikirannya sendiri, melainkan dari orang lain. Sehingga orang yang
menyontek itu tidak mendapatkan apa-apa kecuali nilai yang baik jika
menyonteknya beruntung; (2). Tidak percaya diri. Orang yang menyontek tidak
hanya orang yang tidak faham sama sekali, melainkan ada juga yang sudah faham,
tetapi dia tidak percaya diri. Akibatnya dia menyontek. Jika dilakukan secara
terus menerus, maka akan menjadi kebiasaan. Ini bisa diambil kesimpulan bahwa
orang yang sering menyontek itu tidak percaya diri, tidak percaya dengan
kemampuannya sendiri; (3). Bergantung pada orang lain. Manusia itu mahkluk
sosial, tetapi tidak selamanya bergantung dengan orang lain karena tidak
selamanya ada orang yang selalu menolong kita; (4). Kecanduan. Menyontek itu
“enak”, tidak usaha tetapi mendapatkan hasil yang bagus. Oleh sebab itu, orang
yang sudah pernah menyontek pasti suatu saat akan menyontek lagi.
4. Peran Sekolah , Keluarga, dan Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Menyontek
Peran Sekolah
Sekolah adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menyampaikan dan
menerima pelajaran sesuai dengan tingkatannya dan juga mendidik anak agar bisa
menjadi orang yang memiliki akhlakul karimah dan berguna di masa yang akan
datang. Peran sekolah disini yaitu mensosialisasikan dan mengimplementasikan
tujuan dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam UU NO 20 TH 2003
“bahwa mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdas kankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggungjawab”
(Dalyono, 2009) Kualitas
guru, kesesuaian guru dengan kemampuan anak, metode pengajaran, sarana dan
prasarana, keadaan ruangan, pelaksanaan tata tertib, dan sebagainya. Semua itu dapat mempengaruhi
keberhasilan belajar anak. Apabila tata tertib di sekolah tidak berjalan dengan
baik, maka kepatuhan siswa terhadap guru kurang, dan akibatnya anak tidak
sungguh-sungguh dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Dengan demikian
prestasi anak menjadi rendah. Begitu juga dengan jumlah siswa per kelas terlalu
banyak (50-60 orang), dapat mengakibatkan pembelajaran tidak efektif, hubungan
guru dengan siswa terasa jauh, akibatnya kurang akrab, guru sulit mengontrol
anak, murid menjadi acuh terhadap guru, sehingga guru sulit memotivasi
siswanya.
Tugas seorang
pelajar adalah belajar. Oleh karena itu, guru harus bisa memotivasi siswanya
untuk selalu belajar. Di dalam belajar ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar bisa berhasil dalam
belajar, yaitu : (1). Kematangan jasmani dan rohani. Kematangan jasmani yaitu
kematangan dalam hal fisik. Artinya, umur serta kondisi fisik siswa sudah cukup
untuk belajar materi yang dipelajari. Sedangkan kematangan rohani yaitu
kematangan dalam hal psikologis atau mental siswa. Misalnya kemampuan berfikir,
ingatan, analisis, dan sebagainya. Seorang anak yang akan masuk SD minimal
harus berumur 6 tahun, fisik, dan mentalnya sudah cukup untuk menerima
pelajaran di kelas satu SD. Hal ini merupakan dasar untuk masuk SD untuk dapat
mengikuti dengan pelajaran dengan baik. Apabila anak belum memiliki kematangan
yang cukup, maka anak akan kesulitan menangkap pelajaran yang disampaikan.
Akibatnya anak akan bergantung pada temanya. Hal lain tentang kematangan dalam
belajar adalah seorang guru harus bisa mengetahui kemampuan anak dalam belajar. Misalnya, siswa SD sudah diberi mata
pelajaran B.Inggris, ilmu ukur ruang, dan bilangan negatif. Seharusnya mata
pelajaran seperti itu diberikan untuk
siswa SMP karena anak SD belum cukup matang untuk mengikuti mata pelajaran itu
dengan baik. Begitu juga dengan pelajaran filsafat dan logika tidak cocok untuk
siswa SMP dan SMA, melainkan untuk perguruan tinggi;(2). Memahami tujuan.
Setiap orang belajar harus mengatahui tujuannya, untuk apa dia belajar dan apa
manfaat untuk dirinya maupun orang lain. Prinsip ini sangat penting dalam
belajar, agar proses yang dilakukan cepat selesai dan dan bisa menggapai apa
yang diinginkan. Belajar tanpa tujuan, belajarnya akan asal-asalan, tidak
sistematis, dan tidak mempunyai gairah untuk belajar. Seperti yang dikatakan
Drs. M. Dalyono tentang belajar tanpa tujuan :
“orang yang
belajar tanpa tujuan ibarat kapal berlayar tanpa tujuan, terombang-ambing
tak tentu arah
yang dituju. Sehingga akhirnya bisa terlanggar batu karang atau terdampar
ke suatu
pulau”
Jadi, orang yang mempelajari sesuatu itu harus
mengetahui sebab dari mempelajari, yang ingin di dapat, dan manfaat yang bisa
diambil, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Jika tidak mengetahui, maka
akan sis-sia tidak ada gunanya, bahkan rugi tenaga dan waktu;(3). Memiliki kesungguhan.
Bila sudah mengetahui tujuannya, selanjutnya yaitu kesungguhan untuk
mencapainya. Belajar tanpa kesungguhan,
hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Sebaliknya, belajar dengan penuh
kesungguhan akan memperoleh hasil yang maksimal dan bisa efektif dalam
penggunaan waktu. Misalnya, seorang siswa SMA tidak pernah belajar dengan
sungguh-sungguh, baik di sekolah maupun di rumah. Apabila ada pekerjaan rumah
(PR) dan tugas tidak pernah dikerjakan dengan baik, yang penting mengerjakan
dan mengumpulkan. Akibatnya akan memperoleh nilai yang kurang baik, berbeda
dengan temannya yang sungguh-sungguh;(4). Ulangan dan latihan. Dalam kata
mutiara arab menyebutkan “Manusia itu tempatnya lupa dan salah”, dan kata orang
jawa “ngelmu iku kelakone kanthi laku” maksutnya ilmu itu bisa masuk dalam
pikiran jika dilakukan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan dua kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar ilmu itu harus
diulang-ulang dan diaplikasikan atau dilatih. Jika sudah sering diulang dan
dilatih, maka ilmu tersebut akan meresap dalam otak. Sehingga akan dikuasai
sepenuhnya dan sukar dilupakan. Bagaimanapun pintarnya seseorang pasti akan
lupa bila tidak sering mengulang dan melatihnya. Oleh karena itu, prinsip ini
juga sangat penting dalam proses belajar. Mengulang pelajaran adalah salah satu
cara untuk membuat berfugsinya ingatan. Misalnya, belajar bahasa asing.
Menghafal kosa kata harus diulang berkali-kali membacanya agar benar-benar
hafal dan melekat dalam ingatan. Begitu pula dengan belajar matematika, harus
banyak-banyak berlatih dalam memecahkan soal agar terbiasa dan mahir dalam
menyelesaikan soal dengan benar.
Tegasnya, semua bahan yang dipelajari memerlukan
pengulangan dan pelatihan agar benar-benar dikuasai secara maksimal. Dengan
kata lain, orang belajar harus ada ulang dan latihan.
Peran Keluarga
Pengertian
keluarga menurut Shochib (2000: ) dapat ditinjau dari dua
dimensi, yaitu dimensi hubungan darah dan dimensi hubungan sosial. Keluarga
dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang tercipta
karena adanya hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi
ini, keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti terdiri dari
ayah, ibu, dan anak yang belum nikah, dan keluarga besar yang terdiri dari
beberapa keluarga inti. Sedangkan keluarga dalam dimensi hubungan sosial
merupakan suatu kesatuan sosial yang tercipta karena adanya interaksi secara
terus menerus sehingga menimbulkan kepedulian antara satu sama lain, meskipun
tidak ada hubungan darah. Berdasarkan dimensi ini, keluarga dibagi menjadi dua,
yaitu keluarga psikologis dan keluarga pedagogis. Keluarga psikologis merupakan
sekumpulan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan jangka waktu yang
lama, sehingga menimbulkan suatu hubungan batin, saling perhatian, saling
tolong-menolong, dan saling menyayangi, Shochib (dalam Soelaeman,
1994 : 5-10). Sedangkan keluarga pedagogis merupakan sekumpulan orang yang
bersatu dalam persekutuan hidup yang tercipta karena adanya kasih sayang antara
dua jenis manusia dengan jalan pernikahan sebagai pengukuhan, da bertujuan
untuk saling menyempurnakan diri, Shochib (dalam Soelaeman,
1994 : 12)
Berdasarkan
dimensi-dimensi di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkup keluarga itu luas,
tidak hanya ayah dan ibu, melainkan lebih dari itu, seperti yang telah
disebutkan di atas. Tetapi ayah dan ibu merupakan anggota terpenting dalam
keluarga dan paling berpengaruh terhadap kepribadian anak.
Keutuhan
orang tua (ayah dan ibu) sangat dibutuhkan dalam keluarga untuk membantu
membimbing anak menjadi baik. Keluarga yang “utuh” mempunyai peluang besar
untuk memberi kepercayaan terhadap anak. Karena orang tua merupakan unsur
esensial dalam pembentukan kepribadian anak. Kepercayaan yang diberikan akan
berakibat pada arahan, bimbingan, dan bantuan orang tua bisa menyatu dan
membuat anak menjadi mudah dalam menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Keluarga dikatakan “utuh” apabila anggota keluarga lengkap dan para anggotanya
juga merasakan keutuhannya, khususnya anak-anak. Artinya, apabila ada salah
satu anggota keluarga yang tidak ada, maka angota yang lain harus bisa
merangkap peran anggota yang tidak ada, agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan
sistem nilai yang diberikan orang tua tetap dihormati dan mewarnai kepribadian
anak-anaknya.
(J. Drost, 2006) keluarga adalah
lingkungan pertama dan paling utama dalam mendidik anak agar anak bisa hidup
dengan baik dan diterima oleh masyarakat dimana ia tinggal. Termasuk mendidik anak
menjadi dewasa mandiri dalam kehidupannya. Oelh karena itu, anggota keluarga
khususnya kedua orang tua harus memberi contoh yang baik kepada anaknya.
Mencegah itu lebih baik dari pada mengobati. Artinya orang tua harus menanamkan
nilai-nilai kepribadian yang sesuai dengan agama dan negara sejak dini, agar
anak mempunyai benteng untuk mencegah pengaruh dari luar yang bisa merusak
kepribadian anak. Meskipun anak sudah dimasukkan dalam lembaga sekolah, bukan
berarti tugas orang tua selesai tetapi orang tua masih mempunyai peranan
penting dalam mendukung lembaga sekolah, seperti mengawasi, mengontrol, dan
mendidik anak di rumah. Karena anak belajar di sekolah maksimal hanya 7 atau 8
jam, selebihnya anak berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebagai orang
tua harus bisa mengetahui sifat, bakat, dan minat yang dimiliki anak, meskipun ada yang bilang
“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Tetapi tidak semua sifat orang tua sama
persis dengan anaknya. Oleh karena itu, orang tua jangan menyamakan dan memperlakukan anaknya seperti ia waktu kecil karena
zamannya sudah berbeda. Misalnya orang
tua waktu kecil kalau nakal langsung dipukul atau diberi hukuman. Tetapi jika
tindakan itu diterapkan pada anak zaman sekarang, maka akan tambah nakal,
bahkan sampai berani melawan orang tuanya. Jika orang tua sudah mengetahui
sifat yang dimiliki anak, maka orang tua harus bisa menentukan jenis pendidikan
yang sesuai dengan sifat anaknya. Adakalanya orang tua mengikuti kehendah
anaknya tetapi masih dalam pengawasannya disebut pendidikan partisipatoris. Sedangkan orang tua yang memberi
perintah pada anaknya atau anak mengikuti kehendak orang tua disebut pendidikan represif.
Sebagai
orang tua harus bisa menerima anaknya dengan apa adanya. Artinya orang tua
menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki anak, dan memberi tuntutan yang
sesuai dengan kemampuan anak. Sebaliknya, apabila orang tua tidak bisa
menerima, orang tua akan bertindak seenaknya tidak memikirkan kondisi anak atau
kemampuan anaknya, akibatnya anak akan merasa tertekan. Misalnya, di sekolah
anak dituntut untuk menjadi juara di kelas, sedangkan kemampuan anak
biasa-biasa saja. Akibatnya anak merasa tertekan dan akhirnya anak menghalalkan
segala cara untuk memenuhi tuntutan orang tua, seperti menyontek.
Pola
represif atau tuntutan kadang perlu diperlukan, tetapi tidak pada semua aspek.
Untuk menuntut kepada anak, orang tua harus mengetahui kemampuan yang dimiliki
anak agar anak tidak merasa terbebani. Jika anak merasa terbebani, maka
kejiwaan anak akan terganggu, selalu dibayang-bayangi hukuman kalau tidak bisa
melaksanakannya, dan akibatnya anak menjadi orang penakut. Orang tua harus bisa
tegas dalam membimbing anak, yang perlu dituntut harus dituntut. Misalnya, anak
malas. Orang tua harus tegas menyuruh anak untuk belajar, karena tugas seorang
pelajar adalah belajar dan orang tua harus mendampingi dan memberi tahu apa
yang belum difahami anak di sekolah.
Bimbingan
orang tua didasarkan pada kepercayaan anak, kecuriagaan pada anak. Bimbingan
harus sessuai dengan kemampuan dan kenyataan pada anak. Apabila anak berbuat
kesalahan, orang tua jangan langsung memberi hukuman kepada anak. Pola
pendidikan seperti ini adalah salah, karena anak tidak diberi kesempatan untuk
berbuat salah. Hal itu akan membuat anak menjadi panakut dan tidak berani untuk
mencoba. Menunggu komando. Orang seperti itu tidak bertanggung jawab karena
hanya menjadi “pembeo”. Apabila anak berbuat salah, orang tua memberi tahu apa
kesalahannya, kemudian dibantu untuk memperbaiki kesalahannya. Dari kesalahan
itu, anak mendapat pengetahuan baru dan diharapkan kesalahan itu tidak terulang
lagi. Namun, apabila sudah dibimbing tetapi anak sengaja masih melakukan
kesalahan, maka perlu ditindak lanjuti.
Hal lain
yang perlu diperhatikan orang tua adalah menghargai pribadi anak. Anak memang
butuh kasih sayang, perhatian, dan perlindungan. Tetapi tidak selamanya anak
bergantung pada orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus mengajarkan
kemandirian, memberi kesempatan pada anak untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Orang tua juga harus bisa membuat anak merasa senang jika berada di rumah agar
anak tidak sering pergi keluar bergaul dengan orang-orang yang tidak baik. Anak
boleh saja keluar, tetapi orang tua harus tetap mengawasi, dan mengontrol anaknya agar
tidak berpengaruh dengan hal-hal yang buruk, seperti minum-minuman keras,
tawuran, dan lain sabagainya
Peran Masyarakat dan Lingkungan Sekitar
Selain sekolah
dan keluarga, masyarakat juga sangat mempengaruhi kepribadian anak dan
menentukan prestasi belajar anak. Apabila di sekitar tempat tinggal anak
keadaan masyarakatnya berpendidikan tinggi dan bermoral baik, hal ini akan
mendorong anak untuk lebih giat belajar. Tetapi sebaliknya, apabila tinggal di
sekitar anak-anak nakal, tidak bersekolah, dan pengangguran, hal ini akan
mengurangi motivasi anak dalam belajar dan bisa menghambat anak dalam menggapai
cita-citanya.
Keadaan
lingkungan fisik juga dapat mempengaruhi prestasi belajar anak. Keadaan
lingkungan, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim, dan
sebagainya. Misalnya, rapatnya bangunan rumah penduduk, keadaan lalu lintas
yang ramai, suara gaduh orang sekitar, suara pabrik, suara kereta api, polusi
udara, iklim yang terlalu panas, semuanya itu akan mempengaruhi semangat belajar.
Sebaliknya, tempat tinggal yang sepi, sejuk, dan tenang bisa mendorong semangat
belajar anak.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis dan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyontek adalah suatu tindakan yang bisa membuat
kita menjadi orang yang tidak bermoral. Awalnya dianggap biasa, tetapi jika
dilakukan secara terus menerus akhirnya akan menjadi luar biasa. Masalah ini
sudah mengakar dalam jiwa setiap pelajar, hanya sedikit orang yang benar-benar
berpikir dari pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, masalah ini harus
ditangani secepat mungkin, agar tidak menular kepada generasi selanjutnya.
Sebab dari
menyontek yaitu belum menguasai materi, malas
belajar, banyaknya tuntutan, pengawasan
yang kurang ketat. Akibatnya anak menjadi bodoh, tidak percaya diri, suka
bergantung pada orang lain, dan kecanduan ingin mengulanginya lagi. Setelah
diketahui sebab dan akibatnya, salanjutnya memutuskan kesimpulannya, yaitu
kerjasama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga lembaga ini sangat
mempengaruhi kepribadian anak. Sehingga ketiga lembaga inilah yang bisa
menyelesaikan masalah menyontek. Di sekolah anak dididik untuk menjadi orang
yang pintar dan bermoral, di rumah orang tua juga harus bisa mendukung,
mengontrol, dan membantu anak agar bisa mencapai apa yang dicita-citakan.
Selain sekolah dan keluarga, masyarakat sekitar juga harus menudukung,
memberikan contoh yang baik, mengontrol, dan memotivasi agar anak mendapatkan
tindakan yang sama, baik sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Daftar Pustaka
JUSUF, T. (1986). Kesukaran-kesukaran dalam
Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.
UU No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3
Shochib, D. M. (2000). Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu
Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Dominique,
Papa. Murid Ketahuan Mencontek, Malah
Dibela Kepala Sekolah. Diunduh di http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/07/murid-ketahuan-mencontek-malah-dibela-kepala-sekolah-461351.html, tanggal 22 Oktober 2013
Lismawati,
Ita F. Malau dan Dwifantya Aquina.2013.
Siswa Dipaksa Mencontek, Kepsek Dipanggil. Diunduh di http://metro.news.viva.co.id/news/read/224214-siswa-dipaksa-mencontek--kepsek-dipanggil, tanggal 22 Oktober 2013
Rivki, Eiger.2011.
Aneh Bila
Pengungkap Kasus Mencontek Massal Dimusuhi. Diunduh di http://news.detik.com/read/2011/06/16/175048/1662010/10/aneh-bila-pengungkap-kasus-mencontek-massal-dimusuhi,
tanggal 31 Oktober 2013
Dalyono, D. M. (2009). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: RINEKA CIPTA.
J. Drost, S. (2006). dari KBK
sampai MBS. Jakarta: Kompas.